“Bu, tolong di rumah Nadira dibimbing lebih lanjut lagi untuk belajar membaca ya. Supaya membacanya lebih lancar.”
Kalimat itu diucapkan guru sekolah Nadira beberapa waktu lalu saat saya menjemput Nadira di sekolahnya. Terus terang, saya terkejut. Sepengetahuan saya, kurikulum TK A, di mana Nadira saat ini berada, seharusnya belum belajar calistung dengan serius. Lha kok ini gurunya malah menyuruh saya untuk mengajari Nadira baca supaya lebih cepat bisa? Saya pun jadi bingung.
Tekanan serupa saya dapatkan dari sesama orangtua murid di sekolah Nadira, maupun ibu-ibu lain yang saya kenal. Rata-rata sudah menyuruh anak-anaknya les calistung sejak usia empat tahun. Bahkan tak sedikit yang memasukkan anaknya di kursus serupa pada usia batita.
Tak heran jika di sekolah, Nadira sering cerita bahwa teman-temannya banyak yang telah pandai membaca. No wonder, saat ada tes kecil-kecilan di sekolah, Nadira menjadi satu di antara beberapa siswa yang tergolong lama mengerjakan tugas karena kemampuan calistung mereka belum optimal.
Terus terang, saya punya idealisme untuk tidak memasukkan anak saya ke kursus pelajaran semasa dia masih duduk di bangku taman kanak-kanak. Saya masih percaya bahwa masa kanak-kanak itu seharusnya dihabiskan dengan bermain dan berkreasi, bukannya belajar, belajar dan belajar.
Saya memang tidak mengharapkan anak saya lancar membaca, menulis dan berhitung di usianya saat ini. Jadi kalau dibilang saya santai, ya memang iya. Sehari-hari Nadira cuma main, nggak ada kursus sama sekali.
Apalagi dalam berbagai seminar pendidikan anak yang pernah saya ikut, berbagai buku parenting yang saya lahap, serta mengingat pengalaman pribadi, saya percaya bahwa anak-anak tidak boleh dibebani urusan pendidikan sejak dini. Kelak, mereka akan paham kapan waktunya untuk belajar dan kapan waktunya untuk main. Seperti saat saya kecil dulu. Meski orangtua saya tidak pernah memasukkan saya di berbagai kursus, serta jarang menyuruh saya belajar, nilai saya di sekolah selalu bagus.
Idealisme saya di bidang pendidikan anak bertarung dengan kenyataan yang ada. Siapa sih orangtua yang mau anaknya tertinggal dibandingkan anak-anak lain? Siapa sih orangtua yang rela anaknya rendah diri karena kemampuannya di bawah teman-temannya?
Ujung-ujungnya, galau deh. Teman sekolah Nadira ada yang sudah les Bahasa Inggris sejak setahun lalu. Ada juga yang les calistung plus robotik. Atau seorang teman saya mengaku memasukkan anaknya di kursus calistung, kumon, dan bahasa asing sejak usia 3 tahun.
Saya jadi bingung menjelaskan kalo ditanya, Nadira les apa. Terus rasa bingung itu bertambah saat masing-masing membanggakan anak-anaknya yang sudah lancar membaca, menulis, berhitung, dsb. Anak saya? Baru kenal huruf dan mengeja sedikit. Dan menurut pendapat saya, ini wajar-wajar saja. Ternyata eh ternyata, nggak wajar lho menurut ibu-ibu lain, juga beberapa orang guru.
Apalagi ada beberapa ibu yang men-judge bahwa saya careless dan tidak peduli anak karena saya bekerja dan sering tugas ke luar kota. “Pantas anaknya belum bisa baca, ibunya ke luar kota terus sih,” begitu makna dari tatapan mereka saat saya cerita Nadira belum bisa membaca.
Bagi para ibu ini, peduli anak = memasukkan anak ke berbagai kursus dan “memecut” mereka untuk belajar setiap malam. Tambah risau lagi nggak sih?
Saya sempat berpikir, apakah saya salah memilih sekolah yang menuntut muridnya belajar calistung sejak dini? Tapi setelah saya berbincang dengan teman-teman yang anaknya sekolah di berbagai TK lain, rupanya banyak yang punya pengalaman dan dilema seperti saya. Mereka ingin anak-anaknya bermain semasa kecil, tapi pihak sekolah menuntut untuk belajar. Alasannya, supaya nanti terbiasa menghadapi beban lebih berat di SD.
Duileh, dengar alasannya aja langsung stres membayangkan beban apalagi yang ada di anak-anak SD nanti ya? Makanya, saya sangat berharap pemerintah mengkaji ulang kurikulum pendidikan dini dan dasar di seluruh Indonesia. Supaya anak-anak hepi dan nggak ada lagi ortu-ortu bingung seperti saya saat ini.
Oh ya, untuk kursus sendiri, mulai tahun depan saya menyerah. Saya akan memasukkan Nadira ke kursus. Tapi yang saya pilih sepertinya adalah kursus menari daerah dan mengaji. Untuk kursus calistung dan pelajaran, hmm… Nanti dulu deh. Saya tidak mau bilang tidak. Kalau memang anaknya tertarik, ya mungkin saja. Tapi prinsip saya, jika saya bisa mengajarinya sendiri, kenapa harus dilakukan orang lain? :)
sumber :https://id.she.yahoo.com/dilema-orangtua-masa-kini-120416909.html
sumber :https://id.she.yahoo.com/dilema-orangtua-masa-kini-120416909.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar