Bab 1 pendahuluan
A. Latar belakang
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi
(budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal
manusia.
Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa
diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga
kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.
Budaya adalah suatu cara hidup
yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan
dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang
rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni.[1] Bahasa, sebagaimana
juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga
banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika
seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan
perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari
Bab 2 Isi
Budaya Indonesia adalah seluruh kebudayaan
nasional, kebudayaan local, maupun kebudayaan asal asing yang telah ada di
Indonesia sebelum Indonesia merdeka pada tahun 1945. Kebudayaan daerah
tercermin dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat di seluruh daerah di Indonesia.setiap
daerah memiliki cirri khas kebudayaan yang berbeda. Berikut ini adalah adalah
salah satu kebudayaan Indonesia :
Budaya Unik Suku Sasak: Menculik
Calon Pengantin
Indonesia
sungguh kaya budaya, termasuk dalam budaya pernikahan. Setiap suku punya budaya
khas tersendiri dalam merayakannya, dari mulai pakaian yang harus dikenakan,
sampai pada prosesi pernikahannya.
Nusa Tenggara Barat adalah wilayah
di timur Indonesia yang dihuni oleh 3 suku besar, yang disingkat Sasambo
(Sasak, Samawa, Mbojo). Suku Sasak adalah suku yang mendiami wilayah pulau
Lombok, suku Samawa adalah suku yang mendiami wilayah Sumbawa, dan suku Mbojo
yang mendiami wilayah Bima dan Dompu. ‘
Suku Sasak dari bahasa dan budaya berbeda dengan 2 suku lainnya meskipun wilayahnya berdekatan. Tak ketinggalan dalam budaya pernikahannya. Ada yang unik dalam prosesi pernikahannya: calon pengantin pria harus menculik calon pengantin wanita tanpa sepengetahuan orang tua. Wow, benar-benar unik. Saya berusaha menggali informasi tentang ini selengkap mungkin dari hasil wawancara dengan beberapa warga Lombok.
Hari Sabtu-Minggu kemarin (8-9 September) saya ke Lombok dan berkunjung ke seorang teman. Sebut saja namanya Angger. Saya sendiri bukan orang Lombok, sedang ada tugas ke sana. Kebetulan dia berencana mau menikah dan bercerita mengenai pengalamannya “menculik” calon pengantin wanita. “Hah, menculik?”, tanya saya. Duduk langsung bergeser karena penasaran ingin tahu mengenai budaya pernikahan di suku Sasak Lombok.
Orang tuanya yang lagi berkumpul di rumah Angger lalu menceritakan, bahwa seorang laki-laki disebut sebagai laki-laki jantan ketika ia sudah bisa menculik calon pengantinnya. Lho, bukannya menculik itu tidak boleh? Dijawab, ya memang begitu budayanya.
Si laki-laki yang berniat menikahi wanita harus menculik calonnya, dan harus tanpa sepengetahuan orang tua wanita. Biasanya dilakukan pada malam hari. Si wanita pun tidak boleh memberitahu orang tuanya ia pergi ke mana. Lalu si wanita dibawa ke rumah keluarga laki-laki selama 3 hari atau lebih. Setelah itu, maka pihak kepala dusun dari wilayah laki-laki akan menyelesaikan masalah ini. Dengan cara mendatangi rumah orang tua wanita untuk memberitahukan bahwa anak wanitanya diculik untuk dinikahi oleh calonnya. Inilah cara yang kalau dalam budaya umum dikenal dengan “meminang”.
Kalau keluarga wanita tidak menerima anaknya diculik karena misalnya berbeda status sosial maka pertikaian muncul. Apalagi jika si laki-laki tak mau mengembalikan wanita yang diculiknya. Tapi, menurut keterangan beberapa warga, pertikaian tentang ini jarang terjadi. Penolakan memang sering terjadi setelah proses penculikan, tapi bisa diselesaikan dengan damai agar tidak muncul huru-hara.
Kemudian, jika si keluarga wanita menerima alasan anaknya diculik untuk dinikahi, maka keluarga wanita lalu meminta sejumlah uang tebusan. Mungkin dalam bahasa umumnya mas kawin atau mahar. Dan, si calon laki-laki harus mengusahakan uang tebusan yang diminta oleh orang tua si wanita. Jika tidak, maka orang tua tidak merestui anaknya menikah.
Setelah memenuhi permintaan orang tua wanita maka pernikahan dilakukan. Dari suku sasak yang beragama Islam, maka pernikahan dilakukan seperti umumnya budaya Muslim, dan jika Hindu dilakukan dengan budaya Hindu. Setelah prosesi pernikahan selesai, si pengantin pria dan wanita lalu akan diarak mengelilingi kampung untuk menunjukkan bahwa ia sudah punya pasangan. Ia sudah sukses menculik dan menikahi wanita pujaannya. Prosesi mengarak pengantin ini merupakan budaya yang sering dijumpai, karena mengarak pengantin sering menggunakan jalan-jalan umum, sehingga tak jarang menimbulkan kemacetan.
Suku Sasak dari bahasa dan budaya berbeda dengan 2 suku lainnya meskipun wilayahnya berdekatan. Tak ketinggalan dalam budaya pernikahannya. Ada yang unik dalam prosesi pernikahannya: calon pengantin pria harus menculik calon pengantin wanita tanpa sepengetahuan orang tua. Wow, benar-benar unik. Saya berusaha menggali informasi tentang ini selengkap mungkin dari hasil wawancara dengan beberapa warga Lombok.
Hari Sabtu-Minggu kemarin (8-9 September) saya ke Lombok dan berkunjung ke seorang teman. Sebut saja namanya Angger. Saya sendiri bukan orang Lombok, sedang ada tugas ke sana. Kebetulan dia berencana mau menikah dan bercerita mengenai pengalamannya “menculik” calon pengantin wanita. “Hah, menculik?”, tanya saya. Duduk langsung bergeser karena penasaran ingin tahu mengenai budaya pernikahan di suku Sasak Lombok.
Orang tuanya yang lagi berkumpul di rumah Angger lalu menceritakan, bahwa seorang laki-laki disebut sebagai laki-laki jantan ketika ia sudah bisa menculik calon pengantinnya. Lho, bukannya menculik itu tidak boleh? Dijawab, ya memang begitu budayanya.
Si laki-laki yang berniat menikahi wanita harus menculik calonnya, dan harus tanpa sepengetahuan orang tua wanita. Biasanya dilakukan pada malam hari. Si wanita pun tidak boleh memberitahu orang tuanya ia pergi ke mana. Lalu si wanita dibawa ke rumah keluarga laki-laki selama 3 hari atau lebih. Setelah itu, maka pihak kepala dusun dari wilayah laki-laki akan menyelesaikan masalah ini. Dengan cara mendatangi rumah orang tua wanita untuk memberitahukan bahwa anak wanitanya diculik untuk dinikahi oleh calonnya. Inilah cara yang kalau dalam budaya umum dikenal dengan “meminang”.
Kalau keluarga wanita tidak menerima anaknya diculik karena misalnya berbeda status sosial maka pertikaian muncul. Apalagi jika si laki-laki tak mau mengembalikan wanita yang diculiknya. Tapi, menurut keterangan beberapa warga, pertikaian tentang ini jarang terjadi. Penolakan memang sering terjadi setelah proses penculikan, tapi bisa diselesaikan dengan damai agar tidak muncul huru-hara.
Kemudian, jika si keluarga wanita menerima alasan anaknya diculik untuk dinikahi, maka keluarga wanita lalu meminta sejumlah uang tebusan. Mungkin dalam bahasa umumnya mas kawin atau mahar. Dan, si calon laki-laki harus mengusahakan uang tebusan yang diminta oleh orang tua si wanita. Jika tidak, maka orang tua tidak merestui anaknya menikah.
Setelah memenuhi permintaan orang tua wanita maka pernikahan dilakukan. Dari suku sasak yang beragama Islam, maka pernikahan dilakukan seperti umumnya budaya Muslim, dan jika Hindu dilakukan dengan budaya Hindu. Setelah prosesi pernikahan selesai, si pengantin pria dan wanita lalu akan diarak mengelilingi kampung untuk menunjukkan bahwa ia sudah punya pasangan. Ia sudah sukses menculik dan menikahi wanita pujaannya. Prosesi mengarak pengantin ini merupakan budaya yang sering dijumpai, karena mengarak pengantin sering menggunakan jalan-jalan umum, sehingga tak jarang menimbulkan kemacetan.
Pengantin diarak mengeliling
kampung, dari kampung laki-laki ke kampung istri dengan iringan musik gendang Beleq
(gamelan dengan gendang khas budaya suku Sasak Lombok). Ada juga yang diarak
dengan musik dangdut yang disebut di sana dengan istilah “musik kecimol”.
Budaya ini sering menjadi tontonan untuk para turis asing.
Bab 3 Penutup
A.
Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat kita ambil
beberapa kesimpulan bahwa kebudayaan Indonesia adalah kebudayaan bersama yang
dimiliki oleh bangsa Indonesia yang merupakan puncak tertinggi dari
kebudayaan-kebudayaan daerah. Kebudayaan nasional sendiri memiliki banyak
bentuk karena pada dasarnya berasal dari jenis dan corak yang beraneka ragam,
namun hal itu bukanlah menjadi masalah karena dengan hal itu bukanlah menjadi
masalah karena dengan hal itulah bangsa kita memiliki karakteristik tersendiri.
Untuk memelihara dan menjaga eksistensi
kebudayaan bangsa kita, kita bisa melakukan banyak hal seperti mengadakan
lomba-lomba dan seminar-seminar kebudayaan nasional sehingga akan terjagalah
kebudayaan kita dari keterpurukan karena persaingan dengan budaya luar. Dan
dalam menyikapi keberagaman yang ada kita harus bercermin pada inti kebudayaan
kita yang beragam itu karena pada dasarnya segalanya bertolak pada ideology
pancasila
B.
Sumber
Warokakmaly.blogspot.com
id.wikipedia.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar