Senin, 28 April 2014

JOKOWI FOR PRESIDENT 2014?

Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) dinilai belum saatnya diusung menjadi calon presiden (capres) pada pemilihan presiden (pilpres) tahun depan. Mantan Wali Kota Solo tersebut sebaiknya baru dicalonkan untuk ikut bursa capres pada Pemilu 2019. 

“Menurut saya, Pak Jokowi tidak untuk tahun inilah, jadi pilpres untuk mendatang saja,” kata salah satu putra Bung Karno, Guruh Soekarnoputra, di Gedung DPR, Jakarta, kemarin. Sayangnya, adik Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri itu tidak menjelaskan kenapa Jokowi belum saatnya maju di Pilpres 2014. Guruh selaku pribadi hanya menyampaikan itu dan kebetulan juga memang keputusan Kongres PDIP belum memutuskan siapa capres yang akan diusung. 

“Coba dicek saja ke DPP karena itu keputusannya tergantung kongres (PDIP) dan sampai sekarang belum ada keputusan yang jadi capres itu siapa,” ujar anggota Fraksi PDIP DPR ini. Lalu bagaimana dengan sikap elite-elite PDIP lainnya terhadap wacana pencapresan Jokowi? Berdasarkan pengamatan KORAN SINDO selama ini, pada umumnya mereka tidak mau sibuk dengan urusan capres yang secara organisasi sudah diserahkan keputusannya kepada Mega untuk menentukan siapa yang akan diusung. 


Hasil Kongres PDIP pun kemudian diperkuat dalam Rakernas I, II, dan III bahwa kader PDIP sudah menyerahkan mandat kepada ketua umum agar mengambil momentum tepat dengan berbagai pertimbangan untuk menentukan siapa capres PDIP nanti. Di lingkup internal PDIP sendiri memangadayangmulaimewacanakan Jokowi untuk nyapres(menjadi capres). Namun, tidak sedikit juga yang masih menginginkan agar Mega yang kembali maju. 

Bahkan, ada juga yang mewacanakan kalaupun Jokowi maju, posisinya sebagai cawapres mendampingi Mega. Pada Rakernas III PDIP pada 6–8 Agustus lalu di Ancol, Jakarta, yang menghasilkan 17 poin kesepakatan, tidak satu pun poin yang menginstruksikan secara khusus agar Jokowi maju menjadi capres pada Pemilu 2014 mendatang. “Rakernas merekomendasikan Ketua Umum PDIP agar pasangan caprescawapres disampaikan di saat tepat sesuai dengan kondisi perpolitikan nasional,” kata Ketua DPP PDIP Puan Maharani saat membacakan risalah hasil rakernas ketika itu. 


Hasil riset Lingkaran Survei Indonesia (LSI) beberapa waktu lalu menyebut Jokowi, walaupun tinggi elektabilitasnya, hanya akan menjadi capres wacana karena masih tergantung pada kebaikan hati dukungan tokoh partai di luarnya. “Maju tidaknya Jokowi dalam bursa capres 2014 sangat tergantung pada keputusan PDIP ataupun keputusan Megawati. Jokowi bukanlah pemimpin struktural PDIP. 

Walaupun memiliki elektabilitas tinggi, maju tidaknya Jokowi dalam pilpres masih menyisakan perbedaan pendapat di PDIP,” kata peneliti senior LSI Adjie Alfaraby saat memaparkan hasil surveinya beberapa waktu lalu. Sementara itu, Ketua DPP PDIP Bambang Wuryanto mengatakan partainya tidak mau terprovokasi dengan pernyataan soal capres dan hasil survei baik yang memasukkan nama Jokowi maupun yang tidak memasukkannya. “Keputusan capres itu tergantung ketua umum, kader tegak lurus instruksi, siapa pun yang diputuskan nanti kita dukung. 

Kita itu kader partai pasti tertib,” ujarnya. Jadi, menurut dia, kalau ada upaya provokasi dari survei, baik itu yang mendorong agar Mega maju menjadi capres atau Jokowi yang dicalonkan, PDIP mempersilakan saja. “Mungkin itu politik untuk membangun persepsi dan dianggap bahwa persepsi itu lebih penting dari realitas. Tapi realitanya seperti apa nanti, saya meyakini Ibu Ketum Megawati Soekarnoputri itu jauh dari kebijakan yang muncul karena provokasi,” ujarnya.
 
Bambang meyakini, kapasitas Mega dalam berpolitik sudah sangat mumpuni atau istilah akademisnya sudah profesor doktor. Mega, kata dia, sudah menjadi ketua umum sejak 1993 atau 20 tahun memimpin partai sehingga merupakan politikus dan negarawan yang pengalamannya paling matang. Apalagi, Mega pernah terlempar dari istana saat bapaknya disingkirkan, kemudian saat itu tidak ada orang yang berani mendekatinya karena akan dianggap pro- Bung Karno. 

Melalui perjuangan panjangnya kemudian Mega kembali lagi ke istana. “Jadi, sekapasitas Ibu Ketum (Mega) bisa terprovokasi dalam menentukan capres saya kok tidak melihat. Dengan pengalaman dan kematangan politiknya di pilkada sudah terbukti keputusannya tidak bisa diprovokasi, siapa yang nebak kalau di Jakarta usung Jokowi, di Jabar Rieke Diah Pitaloka, di Jateng usung Ganjar Pranowo, dan Sumut usung Effendi Simbolon. 

Tapi nyatanya? Tepat,” urainya. “Silakan kalau ada upaya membangun persepsi, mengadu domba, tetapi saya yakini beliau (Mega) tidak akan terprovokasi,” sambungnya. Ketua DPD PDIP Jawa Barat TB Hasanuddin mengatakan, saat ini PDIP masih menjalani strategi sesuai dengan apa yang telah direncanakan untuk menambah kajian bagi penetapan calon presiden. “Ibu Megawati punya cara tersendiri untuk memutuskan yang sifatnya strategis. Kebutuhan untuk menetapkan capres itu harus komprehensif,” ujarnya. 

Pengamat politik dari Universitas Parahyangan Bandung Asep Warlan Yusuf mengatakan, wacana yang berkembang saat ini baik yang mendorong Jokowi menjadi capres atau yang masih menginginkan Mega yang maju pada ujungnya akan kembali pada keputusan Mega. Soal kemudian siapa yang nanti ditentukan oleh Mega, menurut dia, hampir bisa dipastikan yang menjadi ukuran adalah loyalitas ideologi dan visi perjuangan ajaran-ajaran Bung Karno. “Pasti (Mega) tidak akan menjadikan hasil survei sebagai variabel penting dalam menentukan capres. 


Apalagi jika survei itu ada motif politik untuk kepentingan partai atau calon tertentu. Juga bukan berdasarkan masukan yang sifatnya tidak ideologis,” katanya. Sekarang ini, menurut dia, semua orang bisa memberikan pendapat. Bahkan, lingkaran dalam PDIP dan orang dekatnya, termasuk Guruh, juga tentunya punya pendapat dan masukan. Tapi, lanjut dia, Mega pasti lebih mengedepankan soliditas partai, pertimbangan ideologi, serta loyalitas dalam memutuskan siapa capres yang akan ditentukan nanti. 

“Itu bisa kita lihat bagaimana kematangan Mega dalam menjaga ideologi dan memilih kader yang loyal dalam menentukan rekomendasi di pilkada seperti di Jateng, Jakarta, dan Jabar. Jadi, kalaupun dalam survei ada upaya katakanlah membangun persepsi mengadu domba Jokowi dan Mega, ada masukan internal, termasuk dari keluarganya, itu saya nilai tidak akan berpengaruh,” jelasnya. 

“Mega beda dengan contohnya SBY (Ketua Umum DPP Partai Demokrat yang juga presiden, Susilo Bambang Yudhoyono) yang begitu mudah menjadikan survei sebagai parameter dan masukan orang terdekatnya dalam mengambil keputusan. Mega berdasarkan pengalaman politiknya sangat ideologis,” urainya. Pengamat politik Andrinof Chaniago mengungkapkan, jika Jokowi benar-benar nyapres diperkirakan hal itu bakal menjadi masalah. 


Pasalnya, akan timbul pertanyaan siapa yang akan bertanggung jawab terhadap fondasi pembangunan DKI Jakarta yang saat ini sedang dikerjakan Jokowi. “Bisa jadi masalah dan bisa jadi enggak masalah (jika Jokowi nyapres),” kata Andrinof Chaniago, Selasa (22/10). Menurut Adrinof, majunya Jokowi sebagai capres sangat tergantung bagaimana dirinya menjawab janji-janji kampanyenya kepada warga Jakarta. 


“Itu tergantung bagaimana beliau (Jokowi) menjawab tagihan janji-janji politiknya. Yang terpenting itu,” tegas Andrinof. Positif atau tidaknya Jokowi maju sebagai capres 2014, Andrinof memprediksi bakal diketahui pada Desember 2013 atau Januari 2014. “Jika maju (capres) ya yang bertanggung jawab utama Pak Jokowi. Bagaimana menjawab janjinya kepada warga Jakarta,” tandasnya. ● rahmat sahid/sindonews

SUMBER : http://www.koran-sindo.com/node/339564

Tidak ada komentar:

Posting Komentar